Keindahan Wastra Nusantara

Dalam pelaksanaan perjalanan waktu, bangsa Indonesia sudah dikenal secara kosmopolitan memiliki keanekaragaman adat istiadat yang betul-betul unik dan spesifik. Adapun kebudayaan dapat dimaknai sebagai hasil budi daya manusia yang dapat diterapkan dalam kehidupan keseharian baik masa kini sampai masa depan.

Indonesia sebagai negara kepulauan terdiri atas keberagaman suku bangsa. Tiap etnik hal yang demikian memiliki warisan adat istiadat yang berkembang selama berabad-abad, serta mengakar dalam kehidupan keseharian. Fenomena dalam akselerasi adat istiadat itu slot kakek tua menciptakan Indonesia sebagai negara multikultur yang tidak ada duanya di dunia.

Di antara keanekaragaman adat istiadat hal yang demikian, di tanah air terdapat wujud kain tradisional atau wastra yang sudah ada sejak zaman feodal dan eksistensinya masih tetap hidup sampai ketika ini. Masing-masing daerah memiliki wastra sebagai ikon dari daerah hal yang demikian yang membuktikan bahwa wastra sampai ketika ini tetap menjadi bagian kehidupan klasifikasi sosial.

Mencerminkan Karakter

Berdasarkan etimologinya, wastra berasal dari bahasa Sansekerta yang bermakna kain tradisional yang pembuatannya dilaksanakan secara manual dan tradisional. Sebagai negara kepulauan yang terdiri dari 37 provinsi, Indonesia memiliki berjenis-jenis kekayaan wastra yang seharusnya dibanggakan. Tiap-tiap-setiap Wastra memiliki nilai filosofis dan merefleksikan berjenis-macam karakter.

Ada Songket dari Padang, Ulos dari Batak, Tapis dari Lampung, Blongket dari Palembang, Grising dari Desa Tenganan Bali, Batik Jumputan dari Jawa, Tenun Tolaki dari Kendari, Batik dari Jawa, dan masih banyak lagi. Karakter adat istiadat bangsa hal yang demikian terefleksikan dalam pelaksanaan pembuatan wastra yang membutuhkan waktu, pemikiran, dan juga daya.

Pada dasarnya wastra atau kain tradisional menjadi faktor penting dan mendasar sebagai suatu kebutuhan di setiap daerah. Tiap-tiap-setiap wastra memiliki narasi tersendiri di balik pembuatannya. Dari kedalaman makna hal yang demikian, kiranya penting bagi segala pihak untuk mengingat kembali ketika wastra diciptakan, terdapat doa, kemauan, dan pemaknaan terhadap simbol-simbol dari selembar kain.

Wastra juga menonjolkan kepribadian, pengaruh, dan selera pemakai. Wastra yang digunakan oleh klasifikasi sosial istana atau keraton tentu berbeda dengan wastra yang digunakan oleh masyarakat niaga. Pada umumnya keraton memiliki tata tertib yang ketat, sehingga produk-produk yang diperuntukkan bagi kaum bangsawan dan klasifikasi sosial istana dihasilkan dengan tata tertib (pakem) tertentu pula.

Sebagai teladan wastra batik yang menjadi simbol busana kalangan bangsawan, dijumpai motif batik parang rusak mempunyai makna menyingkirkan seluruh macam godaan yang akan merusak sendi-sendi kehidupan. Dalam motif ini juga mengedukasi agar segala insan manusia hendaknya mempunyai perilaku yang mengedepankan nilai budi luhur dengan ekspetasi dapat memerangi nafsu maupun godaan.

Dalam hal ini pemakaian motif juga disesuaikan dengan penggunanya, merupakan raja, pangeran, dan prajurit di lingkungan istana pada masanya. Motif-motif wastra batik hal yang demikian diprediksikan diciptakan pada masa Kerajaan Mataram diperintah oleh Mas Rangsangan yang bergelar Sultan Agung Hanyakrakusuma.

Penguasa Mataram hal yang demikian berusaha memberi semangat kepada pasukannya dikala menuju Batavia untuk melawan kolonial Belanda. Dikisahkan prajurit Mataram dikala maju ke medan perang, tidak ketinggalan selalu mengenakan wastra bermotif parang rusak. Ada lagi, motif truntum sebagai semiotika cinta yang bersemi.

Pemakaian motif ini melambangkan orang tua yang memberi nasihat buah hatinya dalam upacara pernikahan sebagai pintu masuk dalam menjalankan kehidupan baru merupakan hidup berumah tangga yang dalam perjalanannya acap kali dijumpai banyak cobaan hidup. Dengan mengaplikasikan motif wastra ini, ada ekspetasi akan langgengnya kehidupan perkawinan, ditandai kasih sayang keduanya yang selalu bersemi di sepanjang waktu (Majalah Seni Adat Gong, No.106/X/2009).

Lain halnya dengan klasifikasi sosial niaga di daerah-daerah yang acap kali didatangi orang-orang dari mancanegara atau luar daerah. Fenomena hal yang demikian melahirkan nilai-nilai keindahan tersendiri. Oleh karena itu, tidak mengherankan, apabila dalam masyarakat niaga, tingkat kreativitas dan penemuan kreatif melahirkan produk baru lebih ditantang, karena semestinya menyelaraskan dengan pertimbangan dinamika pasar yang selalu berkembang. Sebagai teladan batik pesisir gedog dari Tuban yang sudah merambah ke pasaran mancanegara. Sebagaimana diketahui Tuban yakni kota pesisir juga kota niaga yang sejak zaman Kerajaan Singasari sudah manjadi transit atau tempat singgah para pendatang dari mancanegara.

Dalam elaborasinya, wastra tak berhenti pada fungsi praktis sebagai alat penutup tubuh. Selain makna filosofis yang dapat menjadi tuntunan, malahan ada yang memercayai wastra sebagai terapi atau penolak bala dari berjenis-macam mara bahaya yang akan mengancam laku jentera kehidupan manusia.

Salah satu klasifikasi sosial yang memiliki keyakinan kuat sampai ketika ini, umpamanya masyarakat Bali Aga di Tenganan, Pulau Bali. Sosial adat ini betul-betul memercayai bahwa tenun grising yang menjadi wastra spesifik mereka itu punya khasiat sebagai alat penyembuh slot garansi 100 dari berjenis-macam penyakit.

Di samping itu, ada pula yang memosisikan wastra sebagai simbol stratifikasi sosial seperti di daerah Sumatera Selatan, dikala wilayah itu masih dalam naungan kerajaan maritim Sriwijaya. Benang emas yang mereka pakai dalam songket yakni simbol kejayaan, karena ketika itu Kerajaan Sriwijaya memiliki emas berlimpah yang merajai seluruh Nusantara.

Sistem Cara

Pada dasarnya, estetika atau keindahan wastra perlu dievaluasi secara komprehensif mulai dari pelaksanaan pembuatannya hingga tahap pemakaiannya, tidak hanya sekadar hasil kesudahannya saja. Untuk itu, fungsi wastra tidak hanya berhenti pada penutup tubuh, namun merupakan resultansi dari pelaksanaan kreatif panjang para pekerja seni yang dengan tekun dan telaten dapat merajut karya dalam wujud nyata.

Sistem kreatif mereka menciptakan pemantik ekspresi yang membuktikan makin kayanya perkembangan wastra yang betul-betul berguna untuk pengayaan tipe wastra di Nusantara. Via wastra yang sudah ada sejak zaman feodal hal yang demikian, sampai ketika ini juga telah menginspirasi para desainer untuk terus memaksimalkan dalam ajang pameran bergengsi yang spektakuler.

Adapun yang perlu juga menjadi perhatian, karya seni wastra hal yang demikian, perlu juga didesiminasikan lewat berjenis-macam lembaga mulai dari tingkat yang paling bawah, seperti sanggar seni, sanggar busana, klasifikasi masyarakat, pemerintah daerah, dan beberapa komponen lainnya.

Aktualisasinya bisa dilaksanakan dengan pelatihan, penelitian, pameran, pemakaian wastra slot bet kecil hasil para pengrajin lokal baik di lingkup institusi pemerintah, swasta, atau BUMN. aktualisasi nyata hal yang demikian, seni wastra akan terus dapat menjadi perhatian dan membumi di lingkup berjenis-macam klasifikasi sosial.

Categories: Blogging